PENGELOLA ZAKAT : ANTARA IDEALISME DAN GODAAN SYAHWAT

7 April 2011

Foto: Ilustasi
Oleh: Nana Sudiana
Dunia di milenium ketiga bukanlah dunia lain yang baru tercipta. Pergeseran masing-masing fase kehidupan ternyata tidak lepas dari “garis sejarah” yang senantiasa teratur. Hukum sejarah sebagaimana yang kita kenal bukanlah pergeseran lurus ke depan, ia laksana sebuah sirkuit, akan seringkali sirkular dan mengulang-ngulang. Apa yang hari ini disebut modern suatu saat akan disebut kuno. Dan apa yang sekarang disebut kuno pada saat lain ia akan kembali di puja, dirindukan dan dielu-elukan seolah sesuatu yang sama sekali baru. Begitu pula tentang peran agama di tengah kehidupan manusia modern saat ini. Di masa awal tumbuhnya kebangkitan Eropa modern, agama dipandang sebagai antitesis kebebasan

Agama kala itu juga dianggap perusak akal sehat dan logika manusia. Karena itulah agama kemudian ditentang ramai-ramai oleh kalangan intelektual yang berkolaborasi dengan pendamba kebebasan. Jadilah Eropa yang muncul dan berkembang kemudian adalah Eropa yang bebas dari unsur-unsur agama. Eropa melenggang melintasi waktu dengan tenang, seolah masalah agama adalah masalah masa lalu yang tidak mungkin akan muncul dan menjadi polemik kembali. Sejarah sekali lagi membuktikan, betapa “bolak-baliknya masa”. Eropa yang telah merasa bebas dari persoalan agama bukan berarti abadi. Prancis, Inggris dan beberapa negara Eropa yang lain dan negeri-negeri barat seolah diingatkan kembali pada masa lalu mereka, ketika ternyata modernisasi yang mereka lakukan (bahkan dalam bentuk sekularisasi) ternyata tidak mampu mematahkan secara keseluruhan benih-benih kaum agamawan yang tumbuh. Begitu pula dengan benih Islam yang secara terus-menerus tumbuh tanpa bisa dibatasi dengan represifnya kekuasaan dan ancaman pada kehidupan mereka. Wajar kemudian jika pada akhirnya gejala ini ditangkap Barat sebagai sebuah trends yang akan mengancam “kelangsungan serta kedigjayaan Barat” dalam mendominasi perputaran peradaban manusia. Salah satu pandangan yang mewakili stigma tersebut adalah apa yang dikatakan oleh Samuel P. Huntington dalam The Clash of Civilization-nya. Huntington adalah Profesor Ilmu Pemerintahan dan Direktur Institut John M. Ulin untuk Studi-Studi Strategis, Universitas Harvard, AS. Dalam artikelnya tersebut, ia mengatakan bahwa kelak, pasca hancurnya komunisme Soviet, Islam akan menjadi kekuatan peradaban yang akan mengancam peradaban Barat yang sedang berkembang. Islam pula yang pada gilirannya akan bergesekan bahkan berbenturan dengan peradaban Barat.

Era Islam Modern, Kebangkitan atau Ancaman?

Islam yang tumbuh secara perlahan laksana benih unggul yang berkategori super. Ia tumbuh, berkembang dan terus berkembang di berbagai medan kehidupan. Hamparan batu-batu, kerikil, kegersangan cuaca serta kesulitan dan kekurangan perlindungan seolah tak mampu menahan benih ini untuk terus tumbuh dan berkembang. Bagi mereka yang berada dalam barisan Kaum muslimin atau setidaknya simpati terhadap perkembagan Islam, tentu saja akan melahirkan sikap optimisme. Sebaliknya bagi yang tidak menyukainya atau malah memusuhi, tentu saja perkembangan demikian semakin mencemaskan. Di tengah suasana yang belum seluruhnya mereda secara global, negeri Indonesia yang penduduk muslimnya terbesar di dunia ternyata terus tumbuh menjadi negara yang semakin matang iklim demokrasinya. Orang-orang Islam yang ada di negeri ini semakin bijak dan dewasa mensikapi pluralisme yang berkembang. Secara umum, kehidupan yang ada di negeri berjuluk jamrud khatulistiwa ini relatif tenang tanpa gejolak konflik yang menjurus pada kemunduran peradaban yang serius. Satu demi satu aturan yang berpihak pada semakin kondusifnya umat Islam dalam merefresentasikan keyakinan dan aqidahnya hadir di negeri ini, tanpa mengusik dan melukai mereka yang memang secara riil berbeda keyakinan dan agamanya. Islam semakin tumbuh harum mewangi tanpa menginjak atau memaksakan kehendak pada yang secara kebetulan memang berbeda.

Lembaga Zakat di Tengah Umat

Kemantapan umat Islam dalam beragama semakin leluasa kala aturan-aturan yang berkaitan langsung dengan aspek keyakinan dan aqidah pada akhirnya bisa diformalisasikan secara nyata dalam aturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini. Salah satu aturan yang cukup menggembirakan adalah kelahiran Undang-Undang Republik Indonesia No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Walaupun disana-sini masih terdapat kekurangan, tapi alhamdulillah, UU ini telah menerbitkan fajar harapan di tengah kegundahan umat Islam di Indonesia. UU ini bukan saja menjadi babak baru dalam dunia perzakatan di Indonesia, tapi juga telah menciptakan sebuah momentum untuk membuktikan bahwa aturan dalam Islam adalah aturan yang secara logika dan akal sehat adalah aturan yang rasional serta prospektif bagi solusi berbagai persoalan yang terjadi di tengah umat manusia. Diterbitkannya UU ini, bagi pemerintah, ormas atau lembaga da’wah pada hakikatnya justeru menjadi sebuah tantangan besar. Apakah UU ini hanya akan berhenti pada aspek formalitas belaka atau justeru akan menjadi suluh bagi terbebaskannya umat dari belenggu kemiskinan yang telah demikian akut. Kesungguhan dari masing-masing pihak akan teruji seiring bergulirnya waktu. Dari perjalanan niat baik dan realisasinya, akan terlihat siapakah yang paling konsisten dan serius serta sungguh-sungguh untuk menjadikan UU ini menjadi sarana untuk melakukan perbaikan pada umat.

Dilema Pengelola Zakat

Pengelola zakat bukanlah para malaikat yang suci tanpa noda yang melekat. Pengelola zakat bukan pula syetan yang senantiasa salah dan pantas dilaknat. Pengelola zakat adalah manusia biasa yang tentu bisa salah dan bisa pula khianat. Oleh karenanya pengelola zakat secara ideal haruslah mereka yang bersemangat untuk senantiasa berjuang demi umat. Mereka harus menjadikan lembaga yang mereka kelola bagian dari ideologi perjuangan dan penegakan idealisme masa depan. Tapi masalahnya adakah orang-orang yang rela meninggalkan syahwat kekuasaan, syahwat kekayaan serta syahwat kedudukan dan karier mereka “hanya sekedar” menjadi pendekar zakat. Adakah mereka yang secara internalisasi “siap miskin” ketika mereka menerjuni dunia per-zakat-an di Indonesia. Sekali lagi tidak mudah. Manusia secara antropologis lahir dan besar dalam iklim kompetisi secara terus menerus. Siapa yang kuat ialah yang akan menguasai akses pada apapun. Baik pada harta, kedudukan maupun pada popularitas dihadapan manusia lain. Masing-masing manusia merasa bahwa ia harus berkembang, maju dan “unggul” saat diberikan kesempatan bersaing. Hingga dunia karier kemudian berubah menjadi rimba belantara yang membuktikan siapa yang kuat (pintar, cerdas, kaya) maka ialah yang jadi pemenang. Hal ini tentu saja berbeda dengan dinamika berkarier di dunia zakat. Para pengelola zakat bukanlah mereka yang “haus kekayaan”, mereka juga bukan pula orang-orang yang berkategori RT (Raja Tega) yang hanya akan dengan wajah dingin mengatakan : “maaf kami tidak bisa membantu, silahkan datang lain kali”. Dilema pertama, pengelola zakat umumnya mereka yang tertantang secara idealisme untuk terlibat dan membesarkan lembaga yang ada. Mereka berangkat dari keyakinan untuk memberikan kontribusi positif bagi umat. Jarang orang-orang yang terjun dalam dunia ini adalah mereka yang tidak punya idealisme dan keyakinan. Adalah wajar jika begitu kita semakin dalam menyelami kehidupan masing-masing mereka, kita akan menemukan mutiara-mutiara idealisme yang tertanam dalam. Mereka–apalagi yang generasi pertama pendiri lembaga pengelola zakat—lebih banyak berpikir memberikan kontribusi pada umat dibanding untuk diri dan keluarga mereka. Ironisnya, di tengah kehidupan sederhana para pengelola zakat, ternyata mereka mengelola dana yang tidak sedikit. Hal ini cukup berbahaya bagi mereka yang tidak memiliki kekokohan dalam akidah dan keyakinan. Di tengah banyaknya persoalan yang dialami para pengelola zakat, terutama masalah finansial, justeru mereka punya akses yang besar terhadap dana umat. Disinilah sesungguhnya dilema yang dimaksud dalam judul tulisan ini. Bagaimana tidak menjadi dilema kalau posisi para pengelola sesungguhnya cukup rawan. Ingat bahwa kalau saja tidak ada kemampuan untuk istiqomah, jujur, amanah serta sabar dalam kebaikan pastilah akan hancur wajah dunia perzakatan indonesia yang diebabkan oleh segelintir oknum pengelola yang tidak amanah. Dilema kedua, untuk mendapatkan orang-orang yang siap berjuang daripada yang siap untung bukanlah perkara yang mudah bagi para pengelola zakat. Kondisi ini terbukti pada saat lembaga zakat yang ada membuka iklan lowongan di berbagai media, yang mendaftar umumnya sangat terbatas jumlahnya, ditambah yang akhirnya bergabung-pun bukanlah orang-orang terbaik dikelasnya. Lembaga zakat dalam beberapa kasus seolah menjadi lembaga “transit” sebelum mendapatkan kerja yang lebih mapan. Dilema ketiga, saat lembaga zakat beroperasi, tentu saja ia harus menegakan aturan main yang memadai, namun yang terjadi seringkali lembaga-lembaga yang ada hanyalah menjadi lembaga papan nama, yaitu sebuah lembaga yang hanya memajang papan nama mereka tanpa dibarengi aktivitas apa-pun. Kata profesionalisme seakan tabu dibicarakan ditengah kehidupan riil lembaga tersebut. Dilema keempat, untuk bisa eksis, sebuah lembaga pengelola zakat haruslah mampu memberikan kerangka pemahaman dan pengetahuan yang memadai yang berkaitan dengan cara mengelola (manajemen) lembaga pengelola zakat. Apabila hal ini belum terlaksana, maka akan kecil kemungkinannya SDM yang ada akan memiliki kemampuan serta keterampilan standar (baku). Dilema kelima, ini yang paling sulit dilakukan lembaga pengelola zakat yakni memberikan kerangka nilai-nilai kebaikan maupun sifat ke-amanah-an, kejujuran dan keistiqomahan pada SDM yang ada di sebuah lembaga pengelola zakat. Hal tersebut sekali lagi bukanlah hal mudah, mengingat sifat-sifat tersebut tidak bisa didapatkan secara singkat. Hal itu dikarenakan menyangkut sebuah perilaku, yang tidak serta merta akan melekat begitu diajarkan. Semuanya butuh proses panjang yang tidak sebentar. Bagi PKPU, ataupun lembaga apa-pun yang bergerak dalam pengelolaan zakat. Dilema yang ada bukanlah sebuah harga mati yang statis. Itu semua hakikatnya adalah tantangan yang membutuhkan kerangka solusi. Sehingga kalau bisa melewati hal tersebut, maka sangat mungkin lembaga yang ada akan eksis dan terus berkembang. Semoga. Wallahu a’lam bishowwab.

Re-posting from: http://nsudiana.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar

Comment Please!