UU Zakat Masih Mandul

9 April 2011

Jika Anda tahu, bahwa UU No. 38/1999 tentang pengelolaan zakat, sudah berumur 10 tahun. Kini, undang-undang ini akan direvisi pemerintah. Dalam revisi nanti, direncanakan zakat dapat diperhitungkan sebagai pengurangan terhadap Penghasilan Kena Pajak (PKP).

Jika wacana itu berhasil, maka bisa saja terjadi, kelak pembayar zakat akan memiliki punya Nomer Peserta Wajib Zakat (NPWZ) yang bisa berkaitan dengan pajak.


Yang menarik, jika UU ini gol, orang-orang kaya tak bisa lagi sembarangan membagi-bagikan uang secara seenaknya. Seperti kasus di Pasuruan, Jawa Timur yang menewaskan 21 orang itu. Jika melanggar, mereka akan terkena sanksi hukum.

Untuk itu, wartawan kami, Syaiful Anshor mewawancarai Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Dr Didin Hafiduddin. Berikut petikan wawancaranya.

Apa yang melatarbelakangi pemerintah ingin merevisi UU No. 38 Tahun 1999 tentang zakat?
Undang-udang itu produk politik. Karena itu, sangat bergantung pada situasi politik dimana UU tersebut disahkan. UU No. 38 Tahun 1999 itu disahkan pada era Presiden Habibie. Saat itu, belum terpikir sempurna atau tidak. Nah, kini sudah berjalan sekitar 10 tahun, banyak sekali kelemahan yang sangat mendasar. Di antaranya, tidak ada sanksi.

Selain itu, apa lagi kelemahannya?
Seyogyanya, UU kalau mau diimplementasikan perlu dibuatkan peraturan oleh pemerintah. Sebab, peraturan pemerintah mengatur rinci tentang sanksi. Nah, kalau peraturan tidak ada sanksi, sama saja keberadaanya, tidak dibutuhkan.

Selama ini, UU zakat dibawah Menteri Agama (Menag). Dan itu sangat tidak menguntungkan, karena zakat hanya dianggap sebagai urusan Menag. Padahal, zakat terkait dengan pajak dan Departemen Keuangan serta pihak lainnya. Dengan adanya sanksi, peraturan itu akan mengikat ke semua departemen lain. Yang sekarang tidak mengikat. Departemen Keuangan merasa tidak perlu mengikuti keputusan Menag.

Apalagi yang ingin direvisi dalam UU tersebut?
Selain alasan sanksi, juga disebabkan karena masalah kelembagaan zakat. Sebab, selama ini hubungan antara satu dengan yang lain tidak diatur dalam UU. Padahal itu penting sekali. Selama ini, hubunganya hanya bersifat koordinasi, tidak sampai hubungan struktural sehingga mempunyai kekuatan untuk membina ke daerah. Kalau sekarang hanya mencakup informatif, koordinatif dan konsultatif.

Selanjutnya, yang menjadi alasan karena hubungan pajak dengan zakat. Seharusnya, keduanya disandingkan dengan baik. Karena hubungan keduanya relatif sama. Bahkan, zakat lebih fokus kepada fakir miskin. Sedangkan pajak tidak semuanya demikian. Karena itu, perlu diperhatikan. Zakat dapat mengurangi pajak. Kalau disebutkan secara eksplisit bahwa zakat bisa mengurangi pajak, itu akan mendorong orang berzakat. Maka, banyak muzakki (pembayar zakat) yang akan tertarik membayar zakat. Tiga hal inilah yang mendorong UU No. 38 perlu direvisi.

Kembali kepada sanksi, selain UU No. 38/1999, dalam al-Qur`an ada nash yang mewajibkan zakat. Apakah itu tidak cukup untuk menekan muzakki?
Betul. Di zaman Khalifah Abu Bakar Siddiq hal tersebut sudah terjadi. Kalau dalam al-Qur`an kewajiban membayar zakat sudah jelas. Tapi, itu tidak menjadi jaminan orang berzakat. Shalat saja jarang yang mau melakukannya, apalagi zakat, yang diharuskan mengeluarkan harta. Orang pasti berpikir, untuk apa harus mengeluarkan zakat, toh ini harta-harta saya. Zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) zakat sangat ditekankan, apalagi di era Abu Bakar, jauh lebih keras lagi. “Wallahi lauqatilanna man farraqa shalat wazzakat.” (Demi Allah sungguh saya akan perangi orang yang meninggalkan shalat dan zakat). Zaman sahabat saja ada yang membangkang, apalagi sekarang.

Nah, fungsi revisi UU ini adalah untuk mempositifkan UU yang bersifat normatif (al-Qur`an dan Sunnah). Bagaimana yang normatif itu bisa kita positifkan. Kita jadikan UU bisa diberlakukan dengan baik.

Apakah hal itu tidak merepotkan dan membingungkan masyarakat nantinya?
Tidak. Justru akan menguntungkan masyarakat. Setidaknya, bisa ikut mengatasi kemiskinan. Jangan lupa pada masa Umar Bin Abdul Aziz, sudah diterapkan kewajiban zakat bagi para pegawai. Ternyata, hal tersebut mampu mensejahterakan masyarakat semuanya. Hanya dalam tempo dua bulan, sudah tidak ada mustahik (orang yang menerima zakat). Nah, kita sebagai lembaga zakat (LAZ) berupaya untuk mewujudkan itu. Kita sudah mempunyai sekolah gratis, rumah sakit gratis. Ajaran Islam itu memudahkan, tidak memberatkan.

Seandainya revisi UU itu gol, kira-kira apa sanksi yang akan diberikan?
Masih sedang dipikirkan bersama. Lebih cenderung menggunakan sanksi sosial. Muzakki harus punya Nomor Peserta Wajib Zakat (NPWZ). Jadi, kalau mengurus hal yang berkaitan pelayanan publik, SIM dan lain sebagainya, jika tidak memiliki NPWZ, tidak boleh diberi. Kita harapkan dengan sanksi itu bisa memacu muzakki.

Bagaimana dengan usulan bahwa zakat dapat mengurangi pajak?
Di SPPT sekarang sudah ada kolom zakat. Tinggal mengefektifkan saja. Jadi, jika ada yang membayar zakat di lembaga zakat yang sudah terakreditasi, nanti mendapat bukti setor zakat (BSZ). Dari BSZ itulah nanti dihitung dengan pajak. Dengan revisi, nanti setiap lembaga harus memberikan laporan melalui satu pintu. BAZNAS dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) lainnya silakan bergerak. Tapi, semuanya harus memberikan laporan.
Kalau begitu, kelak para muzakki tidak boleh mengeluarkan zakat sembarangan kecuali melalui LAZ yang sudah terakreditasi, begitu?

Ya. Kalau kepada LAZ yang belum diakui atau sembaragan, tidak akan mendapat perhitungan pajak. Contohnya ke tetangga, masjid dan lainnya. Hal itu sebenarnya sudah dicontohkan Rasulullah SAW. Bahwa membayar zakat harus ke lembaga zakat bukan perorangan. Kasus haji Saichon di Pasuruan yang berujung tewasnya 21 orang tak boleh terjadi lagi.

Beberapa pihak mulai resah dengan usulan revisi UU Zakat ini, bagaimana?
Sudah klise. Kasus seperti ini sudah terjadi sejak 1945. Sebenarnya, mereka yang menolak sangat tidak paham. Cobalah dialog dengan kami. Atau para tokoh lainnya. Mereka tidak tahu, jika Islam justru membawa rahmat bagi mereka juga. Ketika dipimpin Islam, mereka juga yang akan untung dan sejahtera.
Nampaknya mereka hanya ketakutan saja. Padahal, yang mereka takutkan sama sekali tidak terjadi. UU ini hanya untuk umat Islam, bukan orang Kristen. Kalau Kristen tidak termasuk dalam UU ini. Jadi tak usah takut.

Mungkin khawatir jika makin banyak UU berbau syariah bermunculan?
Wajarlah, mereka tak kenal Islam. Pikiran mereka terhadap Islam hanya sebatas potong tangan dan rajam. Tidak pernah melihat Islam secara menyeluruh dan membawa rahmat dan keselamatan bagi seluruh manusia di bumi.

Dengan kata lain, UU ini dipastikan tidak merugikan golongan agama lain?
Tidak ada yang dirugikan. Saya pernah dialog di Bappenas, ternyata orang-orang Kristen tidak ada yang menolak UU zakat. Begitu juga dengan orang-orang Hindu. Kalau ada penolakan, saya melihatnya, mereka hanya tidak mau melihat Islam berkembang. Itu saja. Mereka takut luar biasa. Padahal, secara empiris tidak pernah terjadi orang Islam merugikan orang Kristen. Justru sebaliknya, orang Kristen yang sering merugikan umat Islam.* SUARA HDIAYATULLAH, APRIL 2009

Re-posting from: http://koranmuslim.com

0 komentar:

Posting Komentar

Comment Please!